CERPEN
Gunung Bromo di Jawa Timur/Abhotneo |
Oleh : Abhotneo Naibaho
Pagi yang cerah pada Minggu, 31 Oktober 2010 dengan angin
sejuk di pagi hari, kami menapaki bukit-bukit terjal dalam perjalanan mulai dari
gunung Pananjakan menuju lereng Gunung Bromo. Mengendarai Jeep Hartop, seakan
mengingat kembali akan masa kecil ku yang kala itu mobil jenis Jeep masih
bersileweran dan menjadi tren di kota halamanku Pematangsiantar. Pengalamanku
masih terbilang jari menaiki kendaraan tersebut. Itu pun, menumpangi kepunyaan
keluarga.
Perjalanan ku bersama kawan-kawan seperjalanan hampir
sebagian besar menjadi pengalaman pertama seumur hidup mengunjungi Bromo. Dari
Pananjakan kami menempuh kurang lebih empat puluh menitan ke lereng Bromo.
Jeep-Jeep tahun 60-an tadi dibayar cukup mahal untuk menghantarkan kami ke
sana. Sesampainya di lereng, maka terlihat sebuah hamparan luas (landscape) dengan pandangan ke depan ke
arah Gunung Bromo.
Wooww….wooww…..sungguh menakjubkan sekali karya Yang Maha
Kuasa dengan alam yang begitu indah dipandang dengan mata. Tidak hanya Gunung
Bromo saja yang terlihat oleh kami di lereng, namun sebuah gunung yang masih
berwarna kehijauan ternyata merupakan anak Gunung Bromo yang bernama Gunung
Batok. Gunung Batok ini tidak aktif seperti gunung Bromo.
Tidak menunggu waktu yang terlalu lama, pemandu perjalanan
kami langsung membagi-bagikan voucher berkuda sebagai transportasi kami dari
lereng hingga ke kaki Gunung Bromo. Ini pun juga merupakan pengalamanku yang
pertama kali menunggangi kuda. Kuda yang kunaiki berwarna coklat, gagah dan
berjenis kelamin jantan. Aku diiringi pemandunya, seorang masih muda, bersuku
Tengger. Mereka adalah penduduk asli sekitar Bromo yang sebagian besar
bermatapencaharian menjadi pemandu kuda bagi wisatawan yang berkunjung ke sana.
Rasa takut sedikit hinggap di hatiku oleh karena di atas kuda
ternyata tidak setenang berada di mobil atau sepeda motor. Dibutuhkan
keseimbangan tubuh agar tidak jatuh. Kurang lebih dua puluh menit, aku tiba
berkuda bersama pemandunya yang sedari tadi berada di depan. Sesampainya di
kaki gunung, langkah selanjutnya adalah menaiki ratusan anak tangga menuju
puncak Bromo. Stamina tubuhku tidak seperti dulu lagi. Mungkin karena berat
tubuhku kini sudah melar alias tidak selangsing dulu. Baru puluhan anak tangga
saja, napas sudah ngos-ngosan, bahkan kaki hingga paha tak berdaya untuk
melanjutkannya lagi. Dibutuhkan istirahat sejenak sembari menarik napas yang
baru.
Di sana ada cukup banyak pengunjung. Dari mulai kanak-kanak
hingga kakek-nenek. Turis asing juga tidak ketinggalan untuk menyaksikan Bromo
dalam tampak dekat hingga ke puncak. Sejenak, aku menoleh kepada kakek maupun
nenek yang sudah usia lanjut namun mempunyai semangat yang gigih untuk tiba di
puncak. Sebagai orang muda aku merasa malu pada mereka kalau-kalau aku tidak
bisa sampai di atas. Melihat mereka menambah kepercayaan diri dan semangat ku
untuk terus menaiki anak tangga puluhan demi puluhan anak tangga.
Akhirnya garis finis menjadi bagianku untuk tiba di puncak
Bromo. Menarik nafas dalam-dalam agar tenang dan rasa letih hilang selama di
atas. Tampak oleh ku, memandang ke bagian dalam gunung kawah yang sedikit
ditutupi asap dan bau belerang yang khas menusuk hidung dan pernafasan.
Ternyata Bromo adalah benar salah satu dari sekian banyak gunung yang ada di
Indonesia yang masih berstatus aktif. Di atas tak lebih dari satu jam aku sudah
menyaksikan akan apa yang ada di puncak Bromo. Kembali aku menuruni anak tangga
untuk kembali ke Parkiran.
Pemandu kuda yang kunaiki saat perginya tadi tetap setia
menunggu ku selama aku menaiki anak tangga hingga aku turun kembali. Orang
Tengger cukup cepat mengenali pengunjung rupanya. Malah dia yang memanggil ku
dan memberikan keterangan bahwa dia dan kudanyalah yang kunaiki tadi menuju
kaki Bromo. Dalam perjalanan pulang lebih dibutuhkan kewaspadaan ketimbang
pergi karena harus menuruni jalanan dari pebukitan. Kami sedikit berdialog
antara aku dan si pemandu kuda yang kunaiki. Aku bertanya padanya tentang
kudanya apakah sudah milik sendiri atau majikan. Luar biasa ternyata dia
menjawab, bahwa kuda tersebut sudah miliknya pribadi. “Harga kuda tersebut
berkisar sepuluh juta seekornya,” imbuh si pemandu kembali kepadaku.
Di tengah perjalanan menuju ke parkiran Jeep, kami berhenti
sejenak untuk aku mengambil sebuah jepretan gambar dengan kamera hanphone ku
dengan berlatarkan sebuah Pure (rumah ibadah umat Hindu) yang selama ini kutahu
hanya lewat televisi saja. Aku berterima kasih kepada sang pemandu karena dia
sangat rendah hati untuk mengambilkan dua buah foto bagiku.
Tiba di parkiran, aku turun dari kuda dengan penuh waspada
agar tidak terjatuh. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih kepada sang pemandu
dan hanya selembar uang kertas yang dapat kuberikan padanya sebagai uang tip
padanya. Dia pun tak lupa membalaskan dengan perkataan terima kasih juga
padaku.
Rasa bangga, senang bisa pergi dan kembali dari puncak Bromo
dengan selamat tanpa kurang sesuatu apapun. Sembari menunggu kawan-kawan yang
lain tiba, aku membeli souvenir berupa kaos oblong bertuliskan “Bromo
Mountain”. Bahannya tidak terlalu bagus tapi paling tidak aku pikir ada suatu
kenangan bahwa aku pernah dari Bromo. Aku membeli 2 pcs, satu buatku dan
satunya lagi buat istri tercinta di rumah.
Perjalanan pergi dan pulang dari puncak Bromo membuatku
sedikit lapar. Aku melihat orang Tengger yang berjualan kacang rebus. Segera
kuhampiri dia untuk membeli satu kantong kresek kecil. Aku menikmati kacang rebus
sampai menuggu instruksi selanjutnya dari tour
guide kami selanjutnya.
Satu jam kemudian, kami sudah berkumpul bersama dan tibalah
waktu kami untuk meninggalkan Bromo dan kembali ke hotel. Sebuah perjalanan
yang sedikit melelahkan, namun pengalaman dan wawasan tentang alam kian
bertambah. Adalah sebuah anugerah bagiku ketika keindahan alam dapat dinikmati
apalagi ia (alam) mau bersahabat dengan manusia.
Till we meet again Bromo……..
0 on: "Tak Hanya Menyaksikan di TV, Bromo Emang Wow"