Featured Posts
Jumat, 02 November 2018
Minggu, 15 Oktober 2017
Rabu, 20 September 2017
Rabu, 14 Desember 2016
Puspa dan Satwa wajib kita Pelihara!
10.14
-
Tidak ada komentar
CATATAN PENDEK
Oleh: Abhotneo Naibaho
Puspa berarti bunga. Sementara, satwa berarti binatang. Kita,
sebagai manusia yang memang diciptakan oleh Maha Pencipta secara khusus tentu
berbeda dengan puspa dan satwa. Manusia punya akal dan pikiran, sementara puspa
dan satwa sama sekali tidak.
Hari ini adalah haari yang cukup spesial terhadap puspa dan
juga satwa. 15 Desember pada setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Cinta
Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN). Pemerintah menetapkannya tentu bukan tidak
punya alasan dan tujuan. Kita diajak untuk memiliki rasa cinta terhadap puspa
(bunga) dan juga satwa (binatang).
Bunga dan binatang yang dimaksud memang secara umum adalah
setiap bunga atau binatang apa saja. Tetapi secara khusus yang dimaksudkan
adalah aneka puspa yang memang benar-benar dilindungi karena keberadaannya
sudah cukup langka. Sama halnya dengan binatang, beberapa satwa yang dilindungi
karena binatang tersebut sudah semakin langka bahkan diambang kepunahan.
Keanekaragaman Puspa
Jika ada yang beranggapan urusan soal bunga adalah urusan
kaum wanita tentu tidak lah semestinya benar. Di beberapa daerah, ada banyak
kaum pria yang concern terhadap puspa
(bunga). Bahkan tidak sedikit juga, kaum pria pecinta puspa, hidupnya bisa lebih
dari cukup menjalankan bisnis jual-beli bunga, apalagi bunga yang memang lagi
booming di pasaran seperti beberapa tahun lalu, bunga antrium bikin heboh para
pebisnis dan juragan soal bunga dan tumbuhan.
Beberapa puspa (bunga) yang memang sudah langka keberadaanya
seperti; bunga anggrek, bunga bangke, bunga kembang sepatu dan yang lainnya,
keanekaragamannya bisa tetap terjaga dan dilestarikan.
Aneka Satwa dilindungi
Sama halnya dengan puspa atau beberap tumbuhan yang
dilindungi, satwa atau binatang juga banyak yang dilindungi keberadaannya
seperti penyu, gajah, ikan paus, panda, burung jalak, orangutan, badak, dan
masih banyak lagi yang spesies atau turunannya sudah sangat langka bahkan
diambang kepunahan.
Berbagai upaya oleh sekelompok orang untuk memburu beberapa
satwa dilindungi baik secara ilegal demi meraup keuntungan atas perdagangan
liar akan satwa dilindugi masih terus terjadi.
Kita harus menjaga kelestarian alam, dimulai dari sekitar
kita. Aneka puspa dan satwa diciptakan oleh Maha Pencipta bukan lah suatu
kebetulan. Puspa dan Satwa diciptakan oleh Maha Pencipta masing-masing punya
fungsi dan peranan di alam semesta. Sebagai contoh, puspa atau bunga identik
dengan keindahan. Jika bunga, tidak ada, maka suasana pemandangan alam sekitar
serasa kurang lengkap. Belum lagi beberapa fungsi tumbuhan yang di antaranya
dapat digunakan oleh manusia sebagai obat-obatan untuk menyembuhkan
sakit-penyakit yang disebut dengan istilah herbal.
Demikian halnya dengan binatang, beberapa di antaranya juga
berguna untuk menambah stamina dan kesehatan tubuh manusia. Menyembuhkan
sakit-penyakit dalam tubuh. Jika kita--manusia butuh kehidupan, demikian halnya
binatang juga membutuhkan kehidupan untuk bisa bebas di alam atau pun
habitatnya.
Senin, 21 November 2016
Pohon juga Butuh Kehidupan, Stop Menebang Pohon!!
03.33
-
Tidak ada komentar
Ilustrasi/sahl. |
Hanya sedikit saja yang dibutuhkan dari kita manusia
Buka mata, hati dan pikiran
Bahwa pohon juga adalah mahluk hidup
Ia butuh kehidupan, sama seperti kita manusia
Mengapa kita harus menebang pohon sembarangan
Demi memenuhi hasrat kita menggapai sukses
Haruskah kita kehilangan oksigen
Yang akan menyuplai bagi keberlangsungan kehidupan manusia...
Stop menebang pohon secara sembarangan dan membabi buta!
Stop Illegal Logging sekarang juga!
Sebelum alam menyatakan murkanya bagi kita
Demi anak cucu negeri kita hari ini dan esok
Salam,
SAHL
Sahabat Alam Hijau Lestari
Senin, 15 Juni 2015
Merajut Persahabatan Antara Singgalang dan Gereja
11.42
-
Tidak ada komentar
CERPEN
Tampak Gunung Singgalang sedang mengeluarkan asap pada pagi harinya. |
Oleh: Abhotneo Naibaho
Menjadi petani singkong selama dua hari di Saribudolok, Kabupaten Simalungun itu ‘sesuatu banged’. Bayangkan (“……”) badan serasa remuk semua ditambah lagi medan jalan menuju areal ladang begitu menantang lagi butuh keseimbangan badan. Ck…ck….
Aku bersama seorang temanku yang kerap kusebut nama panggilannya si “ayam potong” harus berjiwa besar ikut menemaniku menjalani profesi sebagai petani singkong tepatnya memanen singkong selama dua hari.
Kok jadi ngelantur ya bahasannya…….????? (hua…ha….ha….)
Hubungannya dengan photo ntu apaan…..?????? Ceritain donk...!!!!
Jadi begini. Sehari setelah berjibaku mencabut batang-batang pohon singkong baik berukuran besar dan kecil hingga mentari terbenam, kami kembali ke pemondokan di Saribudolok Kota. Badan dah remuk hampir patah-patah ne, namun aku, sahabatku si “ayam potong” dan bapak yang empunya pondok kami terlibat bercakap-cakap-ria sehabis makan bersama. Sesudahnya, tak lama ke tiganya berbaring di ruang tamu karena sudah keletihan. Zzzz…..zzzzz (terpaksa ngorok) aku mendadului sahabatku dan si bapak tersebut untuk tidur duluan (tanpa pamit).
Keesokan paginya, badan sudah fit kembali menyambut sang mentari kembali terpancar dari ufuk timur. sebelum menyantap sarapan (ala kadarnya). Dari beranda pondok, aku menatap persis ke arah gunung Singgalang dan sebuah menara Gereja dengan jarak pandang dari atap seng rumah di seberang pondok kami kira-kira satu kiloan meter. Aku menjepret pemandangan ‘tak berbayar’ itu alias cuma-Cuma di mana Pencipta menganugerahi sebuah pemandangan fantastis untuk kutatap pagi itu persis dari arah beranda pondok di mana kami menumpang.
Sesaat setelah mendokumentasikannya, aku dan sahabatku kembali harus melanjutkan petualangan bersama kembali karena ini adalah sebuah tugas dari seseorang dari Pulau Dewata untuk kami menyelesaikan project pencabutan batang-batang singkong tersebut atas target dan waktu yang sudah disepakati oleh yang memberi tugas pada kami sebab nantinya batang-batang singkong tersebut sudah dibooking oleh buyer dari daerah lain.
Hari kedua badan ini justru semakin remuk bin patah-patah bahkan harus lembur hingga mentari semakin jauh tenggelam di belahan barat. Kami berkejaran dengan waktu karena malam itu juga kami harus kembali ke Kota kami tercinta dikarenakan sahabatku si “ayam potong” harus melanjutkan tugasnya menyelesaikan satu project kecil yang sedikit menggantung atas permintaanku padanya untuk menjadi petani singkong selama dua hari.
Syukur pada Maha Kuasa dengan tempo empat puluh menitan kami tiba kembali ke Kota tercinta bersama sepeda motor yang kami pakai dengan kecepatan di atas rata-rata. Betapa kami letih tak berdaya mengerjakan tugas sebagai petani singkong selama dua hari. Namun rasa bahagia juga turut menjadi bagian kami karena di samping sudah mengantongi upah kerja kami, plus sebuah jepretan pemandangan alam Gunung Singgalang dengan sebuah Menara Gereja yang tampak fantastis dan aku memberinya judul; Merajut Persahabatan “Antara Singgalang dan Gereja”.
Menutup cuap-cuap ini, ijinku kepada siapa pun yang nantinya akan membaca dengan kalimat “MY JOB MY ADVENTURE”.
Minggu, 31 Oktober 2010
Tak Hanya Menyaksikan di TV, Bromo Emang Wow
08.31
-
Tidak ada komentar
CERPEN
Gunung Bromo di Jawa Timur/Abhotneo |
Oleh : Abhotneo Naibaho
Pagi yang cerah pada Minggu, 31 Oktober 2010 dengan angin
sejuk di pagi hari, kami menapaki bukit-bukit terjal dalam perjalanan mulai dari
gunung Pananjakan menuju lereng Gunung Bromo. Mengendarai Jeep Hartop, seakan
mengingat kembali akan masa kecil ku yang kala itu mobil jenis Jeep masih
bersileweran dan menjadi tren di kota halamanku Pematangsiantar. Pengalamanku
masih terbilang jari menaiki kendaraan tersebut. Itu pun, menumpangi kepunyaan
keluarga.
Perjalanan ku bersama kawan-kawan seperjalanan hampir
sebagian besar menjadi pengalaman pertama seumur hidup mengunjungi Bromo. Dari
Pananjakan kami menempuh kurang lebih empat puluh menitan ke lereng Bromo.
Jeep-Jeep tahun 60-an tadi dibayar cukup mahal untuk menghantarkan kami ke
sana. Sesampainya di lereng, maka terlihat sebuah hamparan luas (landscape) dengan pandangan ke depan ke
arah Gunung Bromo.
Wooww….wooww…..sungguh menakjubkan sekali karya Yang Maha
Kuasa dengan alam yang begitu indah dipandang dengan mata. Tidak hanya Gunung
Bromo saja yang terlihat oleh kami di lereng, namun sebuah gunung yang masih
berwarna kehijauan ternyata merupakan anak Gunung Bromo yang bernama Gunung
Batok. Gunung Batok ini tidak aktif seperti gunung Bromo.
Tidak menunggu waktu yang terlalu lama, pemandu perjalanan
kami langsung membagi-bagikan voucher berkuda sebagai transportasi kami dari
lereng hingga ke kaki Gunung Bromo. Ini pun juga merupakan pengalamanku yang
pertama kali menunggangi kuda. Kuda yang kunaiki berwarna coklat, gagah dan
berjenis kelamin jantan. Aku diiringi pemandunya, seorang masih muda, bersuku
Tengger. Mereka adalah penduduk asli sekitar Bromo yang sebagian besar
bermatapencaharian menjadi pemandu kuda bagi wisatawan yang berkunjung ke sana.
Rasa takut sedikit hinggap di hatiku oleh karena di atas kuda
ternyata tidak setenang berada di mobil atau sepeda motor. Dibutuhkan
keseimbangan tubuh agar tidak jatuh. Kurang lebih dua puluh menit, aku tiba
berkuda bersama pemandunya yang sedari tadi berada di depan. Sesampainya di
kaki gunung, langkah selanjutnya adalah menaiki ratusan anak tangga menuju
puncak Bromo. Stamina tubuhku tidak seperti dulu lagi. Mungkin karena berat
tubuhku kini sudah melar alias tidak selangsing dulu. Baru puluhan anak tangga
saja, napas sudah ngos-ngosan, bahkan kaki hingga paha tak berdaya untuk
melanjutkannya lagi. Dibutuhkan istirahat sejenak sembari menarik napas yang
baru.
Di sana ada cukup banyak pengunjung. Dari mulai kanak-kanak
hingga kakek-nenek. Turis asing juga tidak ketinggalan untuk menyaksikan Bromo
dalam tampak dekat hingga ke puncak. Sejenak, aku menoleh kepada kakek maupun
nenek yang sudah usia lanjut namun mempunyai semangat yang gigih untuk tiba di
puncak. Sebagai orang muda aku merasa malu pada mereka kalau-kalau aku tidak
bisa sampai di atas. Melihat mereka menambah kepercayaan diri dan semangat ku
untuk terus menaiki anak tangga puluhan demi puluhan anak tangga.
Akhirnya garis finis menjadi bagianku untuk tiba di puncak
Bromo. Menarik nafas dalam-dalam agar tenang dan rasa letih hilang selama di
atas. Tampak oleh ku, memandang ke bagian dalam gunung kawah yang sedikit
ditutupi asap dan bau belerang yang khas menusuk hidung dan pernafasan.
Ternyata Bromo adalah benar salah satu dari sekian banyak gunung yang ada di
Indonesia yang masih berstatus aktif. Di atas tak lebih dari satu jam aku sudah
menyaksikan akan apa yang ada di puncak Bromo. Kembali aku menuruni anak tangga
untuk kembali ke Parkiran.
Pemandu kuda yang kunaiki saat perginya tadi tetap setia
menunggu ku selama aku menaiki anak tangga hingga aku turun kembali. Orang
Tengger cukup cepat mengenali pengunjung rupanya. Malah dia yang memanggil ku
dan memberikan keterangan bahwa dia dan kudanyalah yang kunaiki tadi menuju
kaki Bromo. Dalam perjalanan pulang lebih dibutuhkan kewaspadaan ketimbang
pergi karena harus menuruni jalanan dari pebukitan. Kami sedikit berdialog
antara aku dan si pemandu kuda yang kunaiki. Aku bertanya padanya tentang
kudanya apakah sudah milik sendiri atau majikan. Luar biasa ternyata dia
menjawab, bahwa kuda tersebut sudah miliknya pribadi. “Harga kuda tersebut
berkisar sepuluh juta seekornya,” imbuh si pemandu kembali kepadaku.
Di tengah perjalanan menuju ke parkiran Jeep, kami berhenti
sejenak untuk aku mengambil sebuah jepretan gambar dengan kamera hanphone ku
dengan berlatarkan sebuah Pure (rumah ibadah umat Hindu) yang selama ini kutahu
hanya lewat televisi saja. Aku berterima kasih kepada sang pemandu karena dia
sangat rendah hati untuk mengambilkan dua buah foto bagiku.
Tiba di parkiran, aku turun dari kuda dengan penuh waspada
agar tidak terjatuh. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih kepada sang pemandu
dan hanya selembar uang kertas yang dapat kuberikan padanya sebagai uang tip
padanya. Dia pun tak lupa membalaskan dengan perkataan terima kasih juga
padaku.
Rasa bangga, senang bisa pergi dan kembali dari puncak Bromo
dengan selamat tanpa kurang sesuatu apapun. Sembari menunggu kawan-kawan yang
lain tiba, aku membeli souvenir berupa kaos oblong bertuliskan “Bromo
Mountain”. Bahannya tidak terlalu bagus tapi paling tidak aku pikir ada suatu
kenangan bahwa aku pernah dari Bromo. Aku membeli 2 pcs, satu buatku dan
satunya lagi buat istri tercinta di rumah.
Perjalanan pergi dan pulang dari puncak Bromo membuatku
sedikit lapar. Aku melihat orang Tengger yang berjualan kacang rebus. Segera
kuhampiri dia untuk membeli satu kantong kresek kecil. Aku menikmati kacang rebus
sampai menuggu instruksi selanjutnya dari tour
guide kami selanjutnya.
Satu jam kemudian, kami sudah berkumpul bersama dan tibalah
waktu kami untuk meninggalkan Bromo dan kembali ke hotel. Sebuah perjalanan
yang sedikit melelahkan, namun pengalaman dan wawasan tentang alam kian
bertambah. Adalah sebuah anugerah bagiku ketika keindahan alam dapat dinikmati
apalagi ia (alam) mau bersahabat dengan manusia.
Till we meet again Bromo……..
Langganan:
Postingan (Atom)